“Jepang merupakan negara yang sempurna jika saja warga negara di sana tidak memakan babi dan memiliki agama” kira-kira seperti itulah untaian kata yang dilepaskan oleh salah satu pemateri dalam acara seminar beasiswa tahun 2012 lalu di Gedung Statistika Universitas Padjadjaran.
“Jepang merupakan negeri terindah” untaian kata tersebut dikatakan oleh Koko Joni, guru les ketika saya masih berada di bangku sekolah menengah atas sekaligus pemilik St. Ignatius di Palembang. Saya setuju dengan apa yang beliau katakan, Jepang merupakan negeri terindah, negeri yang berbasiskan teknologi namun memiliki keindahan alam yang luar biasa, contohnya saja yaitu sakura yang hanya bisa tumbuh di Jepang.
Dari kedua pernyataan di atas, Jepang merupakan negara yang mesti dibilang ‘wow’. Jepang merupakan negara yang luar biasa, dari segala sisi seperti teknologi, budaya, keindahan alam, sumber daya manusia, dsb. lebih unggul daripada Indonesia. Dalam sisi teknologi misalnya, entah sudah berapa langkah Indonesia tertinggal dari Jepang.
Dalam hal sampah, Indonesia tertinggal dua langkah dari Jepang. Pertama, kebanyakan warga Indonesia membuang sampah sembarangan; hal yang pernah saya amati yaitu: (1) Di kampung saya, seseorang (sudah dewasa) membuang sampah ke sungai sehingga sungai menjadi coklat dan bisa jadi hitam; (2) Di kampung saya, anak kecil yang bermain di sekitar rumah saya, sering membuang sampah (bungkus makanan/minuman) sembarangan; (3) Tidak jarang, seorang mahasiswa sekalipun pernah membuang sampah sembarangan, menurut pengamatan saya—setiap kali meninggalkan kelas biasanya terdapat sampah seperti tisu, kertas maupun bungkus makanan atau botol minuman yang tertinggal di ruangan.
Dari tiga hal di atas saya menyimpulkan bahwa orang Indonesia banyak yang tidak peduli lingkungan. Mulai dari anak kecil hingga dewasa, dari yang tidak terdidik hingga yang terdidik, mereka kurang peduli lingkungan. Entah karena tidak ada kotak sampah atau malas membuang sampah, mereka membuangnya secara sembarangan, dan ataukah ini sifat asli orang kita?
Kedua, meskipun warga Indonesia membuang sampah pada tempatnya, namun antara sampah organik dan sampah anorganik tidak dipisahkan. Berbeda dengan Jepang, senior saya yang pernah ke sana mengatakan (berkicau di twitter) bahwa rumah-rumah dan tempat-tempat di sana memisahkan antara sampah organik dengan sampah anorganik.
Di SMA saya, antara sampah organik dan anorganik dipisahkan, namun ujung-ujungnya sampah tersebut digabungkan kembali di sebuah truk pengangkut sampah. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik di sana mungkin hanya sebatas formalitas saja. Bisa jadi berguna untuk melatih siswa untuk membedakan sampah organik dan anorganik atau digunakan untuk mengikuti lomba kebersihan untuk menambah nilai.
Untuk poin yang kedua mungkin sangat sulit direalisasikan di seluruh Indonesia. Jika kita bisa mengatasi poin pertama, artinya kita hanya tertinggal satu langkah saja dari Jepang. Namun, tidaklah mudah mengubah kebiasaan seluruh warga Indonesia agar poin pertama di atas dapat diatasi. Kebiasaan membuang sampah sembarangan yang telah tertanam dan menjadi sifat asli sulit untuk dibuang. Di sinilah, pendidikan sejak kecil yang baik sangat dibutuhkan agar terciptanya kebiasaan cinta terhadap lingkungan.
Oleh karena itu, marilah kita peduli terdapat lingkungan kita. “Buanglah sampah pada tempatnya”, kalimat ini mungkin sudah sering terlihat dan terdengar di mata dan telinga kita. Tapi jangan hanya sebatas mendengar dan melihat saja, lakukan hal tersebut dengan aksimu, dengan tanganmu!
0 comments:
Post a Comment